Jilid
03_______________________
Ketiga orang
itu kemudian menuju gardu. Yang disebut garduh ini sebuah bangunan mirip
rumah tapi
dengan ukuran amat kecil mungkin lebar dua depa dan panjang tiga depa saja.
Tidak memiliki
dinding tertutup. Dan yang menandakan bahwa ini tempat menjaga
keamanan,
karena di sampingnya terdapat kentongan, juga ada beberapa alat lainnya.
Mereka bertiga
langsung duduk di bale-bale yang terdapat di gardu tersebut. Sambil duduk,
Ginggi
meneliti beberapa alat yang disimpan di sudut bangunan kecil ini. Ada
tumbak(tombak),
yaitu semacam tongkat kayu tapi ujungnya diberi logam yang amat runcing.
Benda ini
jelas fungsinya untuk menusuk. Adacikrak , yaitu sebangsa brankar untuk
mengangkut
orang pingsan atau celaka. Adacangkalak , seikat tambang terbuat dari bahan
bambu. Mungkin fungsinya untuk
mengikat tahanan.
"Dan yang
ini apa namanya, Ki?" tanya Ginggi meneliti sebuah alat lain. Sama seperti
tombak
hanya ujungnya
yang terbuat dari logam itu melengkung seperti bulan sabit atau tanduk
kerbau.
"Itu
namanyacagak . Fungsinya untuk menangkap orang yang dicurigai. Supaya dia tak
melarikan diri
dalam pengejaran, orang itu kita pepet ke dinding dengan cagak. Pasti tidak
akan lepas
lagi sebab badannya terkurung lengkungan cagak ini," kata Ki Ogel,
"Kita hanya
tinggal
mengikat kaki dan tangannya saja dengan cangkalak ini," lanjutnya seraya
memperlihatkan
tambang bambu itu. Ginggi mengangguk-angguk.
"Seringkah
para tugur menangkap penjahat, Ki?"
"Tidak
dikatakan sering. Sebab pada umumnya penjahat selalu menghindari bentrokan
dengan tugur.
Kalau kitalengah mereka masuk. Tapi bila kita siaga, mereka tak ada," kata
Ki
Ogel.
Ki Banen hanya
batuk-batuk kecil saja sambil mengorek-ngorek kuping dengan jari
kelingkingnya.
"Tapi, ya
begitulah, seperti apa yang dikatakan Rama tadi, yang namanya penjahat bukan
terbatas pada
pencuri dan penyamun saja. Yang datang ke kampung ini dengan niat
mengacaukan,
memang tidak sedikit," kata Ki Ogel setengah mengeluh.
"Heran.
Kalau bukan pencuri atau penyamun, untuk apa mereka berbuat kejahatan mengacau
desa?"
gumam Ginggi seperti bicara pada dirinya sendiri. Ki Ogel ikut menghela napas.
"Sekarang
ini jaman kacau, anak muda. Musimnya orang berambisi untuk memperoleh
kesenangan,
musimnya orang menganggap dirinya benar dan menuding orang lain salah serta
musimnya
keserakahan dan kemunafikan merajai kehidupan. Ada orang yang merasa punya
kebenaran dan
hal itu dipaksakan kepada orang lain agar menjadi kebenaran umum. Ada
orang yang
merasa punya wibawa dan kewibawaan itu dipaksakan kepada orang lain agar
kebesaran
tercipta pada dirinya. Dan yang menjadi korban kesemua ini adalah ambarahayat.
Banyak
perintah, banyak pendapat dan mereka tak tahu, apa yang harus dilakukan
sebenarnya.
Yang berani melakukan pilihan, akan punya risiko sebab menciptakan
pertentangan
satu sama lainnya," kata Ki Banen dengan wajah kusam.
Ginggi menatap
wajah Ki Banen. Orang tua ini tak gemar bicara. Tapi satu kali bersuara
menimbulkan
renungan yang dalam baginya.
"Apa yang
sedang kalian hadapi sebenarnya, sepertinya hidup ini benar-benar sesak dan
sempit buat
kalian, Ki?" tanya Ginggi sambil membereskan rambutnya yang tergerai ke
pundak karena
tanpa ikat kepala.
"Aneh
sekali. Kau memang orang aneh, anak muda. Mengaku pengembara tapi tak tahu
keadaan
dunia," Ki Ogel yang menjawab. "Sekarang ini zaman pertentangan
pendapat.
Sesudah
kehadiran agama baru, banyak orang bersilang pendapat mempertentangkan
kebenaran
hakiki. Ada orang bertahan dengan kebenaran lama, ada orang berjuang
melebarkan
sayap kebenaran baru. Akibatnya, orang yang tak tahu apa-apa menjadi
terpecahpecah
dan ada juga
yang sampai berkelahi. Anak melakukan permusuhan dengan ayah dan saudara
kandung menjadi renggang. Itu semua konsekuensi dari kehadiran agama baru, anak
muda,"
tutur Ki Ogel.
"Aku
tidak tahu apa itu agama. Tapi kalau ada orang yang mempertentangkan kebenaran,
kedengarannya
lucu. Mengapa pula tadi Aki katakan ada kebenaran baru yang
dipertentangkan
dengan kebenaran lama, seolah-olah kebenaran itu bisa berubah-ubah
mengikuti
pergantian masa. Kalau ada orang bertindak tak adil kepada yang lain apakah
akan
dinilai
berbeda pada masa yang beda. Apakah orang-orang masa lalu, hari ini dan masa
yang
akan datang
akan menilai berlainan terhadap orang yang suka bohong, berkhianat dan kepada
orang yang
gemar menganiaya?" kata Ginggi menatap saling bergantian kepada kedua
orang
tua itu.
Giliran Ki
Ogel dan Ki Banen yang menatap pemuda itu dengan penuh rasa heran.
"Omonganmu
barusan hanya akan keluar dari mulut orang yang mengenal agama. Akan
tetapi,
mengapa kau tadi bilang tak kenal agama, anak muda?" tanya Ki Banen
mengerutkan
dahi. Dibalas
oleh pemuda itu dengan sama-sama mengerutkan dahi.
"Walau
tidak rajin benar, tapi Ki Dar… maksudku, orangtuaku kerap mengatakan hal ini
kepadaku. Tapi
tak satu kali pun dia mengatakan bahwa itu agama," gumam Ginggi
merenung.
"Orang
mengenal tata-nilai dan aturan hidup dan apalagi melaksanakannya, itulah orang
beragama, anak
muda…!" kata Ki Ogel. "Adakah orangtuamu mengatakan tentang agama
yang
dianutnya?" lanjut Ki Ogel lagi.
Pemuda itu
termenung sejenak, lalu, "Setahuku dia tak bilang apa-apa. Kalaupun dia
sering
memberikan
petuah, apakah itu bagian dari agama, aku tak diberi tahu," katanya.
"Entah
siapa orangtuamu. Tapi sikapnya aneh. Dan kesemuanya melahirkan perangai aneh
padamu, anak
muda. Kau datang ke kampung ini tanpa basa-basi sopan-santun. Dan lantas
kami percaya
serta memaklumimu setelah kau bilang tak kenal agama. Tapi sekarang, kau
bicara panjang
lebar penuh filsafat. Aneh, benar-benar aneh!" kata Ki Banen.
"Sudah
berapa kali kalian bilang soal sopan-santun. Aku tak tahu, sopan-santun itu
apa, Ki ?"
tanya Ginggi,
disambut gelak tawa kedua orang tua yang duduk bersila di hadapannya.
"Nah,
sekarang kalian tertawa. Padahal tadi sore kalian berang padaku karena urusan
sopansantun
itu!"
omel Ginggi menampilkan mimik jengkel. Melihat kejengkelan pemuda ini, Ki
Ogel tertawa,
juga Ki Banen dengan tawa tipisnya.
"Benar-benar
kau orang aneh anak muda," kata Ki Ogel
"Walaupun
baru sedikit-sedikit, engkau tahu akan sikap hidup yang benar, anak muda,"
kata
Ki Banen
dengan suara rendah. "Tapi, memang kau benar-benar tak mengenal agama.
Sebab
orang yang tahu
akan agama akan tahu juga tradisi dalam menjaga nilai hidup. Orang yang
mengenal
danmenjunjung agama, di antaranya sanggup memperlihatkan perilaku baik.
Berkata benar,
mendengar benar, melihat benar,rengkuh (sopan dengan badan membungkuk)
terhadap orang
yang lebih tua dengan tutur kata halus dan suara enak didengar," kata Ki
Banen.
"Lantas…?"
"Harus
sanggup menjaga wibawa dan kehormatan baik diri sendiri maupun keluarga, juga
wibawa serta
kehormatan raja dan kerajaan," Ki Ogel yang melanjutkan omongan.
"Nah,
kalau sudah begitu, bereslah keadaan. Tetapi, mengapa kalian tadi membingungkan
hidup yang
tengah berlangsung hari ini?" Ginggi menyerang dengan pertanyaan baru. Ki
Ogel
dan Ki Banen
menundukkan kepala dan menghela nafas. "Itulah masalahnya, anak muda…"
keluh Ki
Banen. Kedua orang ini saling tatap dengan sorot lesu. Menundukkan kepala dan
menghela nafas
lagi.
Diam membisu.
Suara binatang
malam mulai terdengar. Ada suara cengkerik menggerit-gerit pilu, ada suara
burung
malammenghardik-hardik lesu dan di kejauhan sayup-sayup burungloklok
danbungaok
kian menambah sepinya malam. Padahal bulan di langit benderang. Ginggi
menghitung,
ini hari ke duabelas di perjalanan bulan ke enam tahun Saka. Dan melihat bulan
benderang,
pemuda ini jadi ingat Ki Darma. Barangkali di puncak Cakrabuana Ki Darma
masih
sendirian. Kalau tak "diusir" pergi, seharusnya dia mengajak Ki Darma
menikmati
burung walik
bakar yang diburu tadi pagi.
"Sudah
kukatakan sejak tadi, ini zamannya orang berebut pengaruh. Sekarang di bumi
Jawa
Kulon,
Pajajaran tidak sendirian. Di sebelah barat ada Kerajaan Banten dan di timur
Kerajaan
Cirebon. Kedua
negara baru itu mengatur sendi negara dengan dasar agama baru. Mereka
tengah
berjuang untuk memperkenalkan dan melebarkan pengaruhnyakemana-mana. Jadi,
termasuk pula
ke wilayah Pajajaran," kata Ki Banen.
Ki Ogel
menambahkan, "Kini pengaruh agama baru semakin meluas. Kerajaan Talaga dan
Kerajaan
Sumedanglarang yang dulu benar-benar taat kepada Pajajaran karena disana
merupakan
pusat-pusat agama lama, sudah lama terpengaruhi keyakinan agama baru walau
sebagian masih
setia dengan agama lama. Namun akibatnya, timbul perpecahan.
AdaKandagalante
(setingkat wedana di zaman kini-pen) yang diam-diam mempertahankan
keyakinan
lama, ada juga yang terang-terangan masuk kepada keyakinan baru. Di dalam
lingkungan
kandalante sendiri sebetulnya sudah terpecah-pecah. Beberapa desa masih mau
mempertahankan
keyakinan lama, tapi beberapa diantaranya melepaskan begitu saja," kata Ki
Ogel panjang
lebar.
Ruwet sekali
keadaan, pikir Ginggi di saat mendengar penjelasan ini.
"Kampung
ini sendiri, masuk ke dalam keyakinan mana, Ki?" tanyanya.
"Disini
pun sebenarnya sudah ada macam-macam gagasan. Tapi Rama Dongdo tidak bersifat
memaksakan
sesuatu. Beliau tetap patuh kepada amanat Kangjeng Prabu Sri Baduga
Maharaja,
penguasa Pajajaran puluhan tahun silam. Dulu Sang Prabu bersabda, tidak akan
melarangambarahayat
mengambil satu keyakinan agama. Yang beliau larang bila
sembarangan
memilih sambil tak jelas apa yang dipilih. Tak apalah ambarahayat memilih
agama yang
bermanfaat bagi kesentausaan negara, asalkan jangan untuk berkhianat dan
membodohi,
bukan untuk memupuk kekayaan dan kesenangan pribadi. Tak apalah mengganti
keyakinan dengan yang baru asalkan untuk menolong sesama yang membutuhkan dan
membantu orang
lain tanpa pamrih apa pun," kata Ki Banen.
"Namun
kebijaksanaan Kangjeng PrabuSuargi (yang sudah meninggal) tidak dimengerti
benar oleh
semua lapisan ambarahayat. Banyak orang bertahan karena agama lama atau
berjuang
karena agama baru hanya dipertalikan dengan kepentingan politik," kata Ki
Ogel.
"Aku tak
mengerti, Ki !" kata Ginggi mulai menguap karena malam semakin menjelang.
"Kalau
kau pandai mengamati perjalanan waktu beserta isi kehidupan ini, kau akan
tahu,"
kata Ki Banen
turun dari bale-bale. Dia mendekati kentongan. Diambilnya alat pemukulnya
yang
diselipkan di sela-sela lubang kentongan dan segera dipukulkannya ke tubuh
benda yang
terbuat dari
kayu nangka ini. Trong-trong-trong-trong-trong! Beraturan dan enak didengar.
"Matamu
kuyu dan tengkukmu kian melengkung. Lehermu pun tampak seperti leher kurakura.
Itu tanda kau
ngantuk dan kecapaian. Ayo, tidurlah kau tak perlu cari-cari jasa ikut jaga
!" kata
Ki Ogel.
Ginggi
tersipu. Padahal tadinya janji mau ikut tugur atau meronda. Tapi, memang baru
sekarang dia
rasakan, betapa lelahnya sebetulnya dia. Sejak pagi hari menuruni bukit dan
lembah serta
keluar masuk hutan, tidak sebentar pun dia istirahat. Makan dendeng menjangan
pun, bekal
dari Ki Darma, dilakukannya sambil berjalan menyusuri hutan.
Ginggi
berbenah diri. Buntalan kainnya yang berisi satu dua stel pakaian sederhana dia
gunakan
sebagai bantal. Ginggi berbaring, telentang sebentar. Kelopak matanya
dikatupkan.
Tapi di
kelopak matanya itu malah terbayang gadis mungil yang membawa baki dan
menyodorkan
penganan.
Siapakah dia,
pikir pemuda itu. Namun hatinya tak sempat berbincang-bincang lagi sebab
matanya sudah
pedih terkatup rapat. Pemuda itu terlena.
Hanya saja,
entah berapa lama ia tertidur. Sebab secara mendadak dia dikejutkan oleh sebuah
pertanyaan
yang diajukan cukup keras.
"Siapa
dia ?" kata si suara keras.
"Dia
pengembara kemalaman, Ki Kuwu. Numpang tidur!" Ki Ogel menjawab hormat.
"Di saat
suasana genting seperti ini kau jangan sembarangan menerima pendatang. Kenapa
pula tidak
dilaporkan padaku ?" kata orang yang dipanggil Ki Kuwu.
Diam sejenak.
"Bangunkan
dia !" kata Ki Kuwu lagi dengan nada jengkel.
"Jang,
bangun, Jang !" Ki Ogel menggerak-gerakkan tubuh Ginggi yang sebenarnya
sudah
sejak tadi
mendengarkan pembicaraan mereka.
Pemuda itu
pura-pura menggeliat, menguap dan menggisik-gisik kedua matanya. Lalu dia
memutar wajah
ke segala arah"Hei, bangun orang asing !" kata Ki Kuwu.
Ginggi
menggisik kembali kedua belah matanya sebelum benar-benar menatap orang yang
berdiri
bertolak pinggang di sisi bale-bale.
Ketika pemuda
itu meneliti, ternyata yang disebut Ki Kuwu adalah seorang lelaki setengah
baya
berpakaian kampret hitam, bercelana komprang putih dan ada kain sarung
tersandang di
bahunya. Dia
memakai terompah kulit dan banyak hiasan cincin batu di hampir semua jari
tangannya,
kanan dan kiri. Ikat kepalanya juga hitam, sedikit totol-totol coklat muda.
Tapi
yang lebih
menarik perhatian pemuda itu, Ki Kuwu ini matanya mencorong tajam karena bola
matanya nampak
besar menonjol. Hidungnya juga besar agak pesek, dengan hiasan kumis
tebal hitam
melengkung seperti tanduk kerbau.
"Beri
hormat kepada Ki Kuwu Suntara, anak muda," kata Ki Banen setengah
memperingatkan.
Ginggi sudah
punya pengalaman. Bila berlaku seenaknya maka orang yang dibawa bicara
akan
tersinggung. Maka untuk tidak membuat kemarahan orang, Ginggi mengikuti tata
cara
seperti apa
yang mereka inginkan. Melihat Ki Ogel dan Ki Banen berdiri setengah
membungkuk
sambil sepasang tangan bersilang di bawah pusar, pemuda itu pun ikut berdiri
dan berlaku
seperti mereka. Membungkuk setengah menunduk dan kedua tangan bersilang di
bawah pusar.
"Siapa
namamu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu datang ke sini !" Ki Kuwu
Suntara
mengajukan
pertanyaan beruntun.
"Aku
kemalaman dan numpang tidur disini. Aku pengembara, hendak mencari kerja.
Tadinya
minta kerja
jadi tugur di sini, Ki Kuwu," kata Ginggi menjawab berpanjang-panjang
padahal
untuk
menyembunyikan beberapa jawaban yang tak mungkin diucapkannya.
"Hahaha
!" Ki Kuwu tertawa ngakak sambil melinting ujung kumis kiri dan kanan.
"Tugur
bukan
pekerjaan yang mesti diberi imbalan, sebab merupakan kewajibandasa (pemenuhan
pajak tenaga).
Dasar anak dungu !" ejek Ki Kuwu Suntara.
"Oh, aku
baru tahu bahwa tugur itu suatu kewajiban," gumam Ginggi.
"Nah,
memang begitu. Tapi kalau kau hanya pengembara dan berniat mencari sesuap nasi,
kau boleh
memilih pekerjaan di kampung ini. Aku banyak membutuhkan tenaga muda
sepertimu
ini," kata Ki Kuwu sambil matanya meneliti bentuk tubuh Ginggi yangsembada
(
kekar) dan
sedikit berotot keras.
"Ogel,
teliti latar belakang anak muda ini. Kalau memenuhi syarat kau boleh ajak dia
bekerja,"
kata Ki Kuwu Suntara sambil hendak berlalu. "Eh, mana tugur yang dua orang
lagi
?"
katanya lagi meneliti isi garduh.
"Sedang
berkeliling, Ki Kuwu," kata Ki Ogel
"Bagus!"
Dan Ki Kuwu
berlalu dengan tangan berlenggang gagah. Di keremangan cahaya obor,
sesekali
tangan kanannya mengapit ujung kain sarung, sesekali tanganna digunakan memuril
ujung
kumisnya.
"Itulah
Ki Kuwu Suntara, anak muda…" Ki Banen berkata sedikit mengeluh.
"Diakah
pemimpin di desa ini ?" tanya Ginggi.
"Benar.
Tapi terkadang sering berbeda pendapat dengan orang yang dituakan, yaitu Rama
Dongdo,"
kata Ki Banen lagi. Ginggi menoleh, minta penjelasan lebih jauh.
"Ya,
sudah aku katakan tadi, kemelut urusan kenegaraan juga jatuh mengalir
mempengaruhi
orang-orang di
bawah," Ki Ogel yang menjawab. "Kemelut karena kehadiran agama baru,
juga terasa
disini. Rama Dongdo tetap setia dengan agama lama. Tapi beliau tidak melarang
rakyat di desa
untuk memilih agama apa saja, termasuk yang baru. Sebaliknya Ki Kuwu
Suntara minta
ketegasan kita, apakah mau ikut ke mana, sebab kalau ragu-ragu seperti Rama,
diperkirakan
rakyat pun jadi ragu-ragu dan akhirnya terjadi perpecahan."
" Ki Kuwu
sendiri memilih yang mana?" tanya Ginggi.
"Kami
juga tak jelas, dia memilih apa. Sekali waktu dia mengatakan, karena kita hidup
di
bawah Kerajaan
Talaga yang sudah ikutke Cirebon, sebaiknya desa ini pun ikut ke Ratu
Talaga saja.
Ki Kuwu mencerca Kangjeng Prabu Ratu Sakti yang dianggapnya sudah tak
menjadi
pemimpin negara yang baik karena menarik pajak tinggi dan suka bertindak keras
terhadap
rakyat. Anehnya kendati dia seperti memihakCirebon, tapi tetap memerintahkan
rakyat di desa
ini untuk mengumpulkan barang-barangseba (pajak hasil bumi tahunan) yang
akan
dikirimkan ke Pakuan. Ini aneh. Dan kami hanya menduga, Ki Kuwu Suntara
sebenarnya
masih menyegani Pakuan dan tak berani menahan seba yang diminta Pakuan,"
kata Ki Banen.
"Benar.
Aku kira juga demikian kemungkinannya," gumam Ki Ogel.
"Kalau
begitu aku baru mengerti. Banyakcarangka dandongdang (alat pengangkut barang
hasil bumi)
bertebaran di pekarangan Rama untuk kepentingan seba. Ya, kan?" kata
Ginggi.
Ki Ogel dan Ki
Banen mengangguk.
"Sekarang
masa panen di ladang dan huma. Seba ke Pakuan juga dilakukan setahun sekali
saat panen
tiba. Barang-barang itu memang tengah dihimpun untuk kemudian menjadi
iringiringan
seba ke
ibukota," kata Ki Ogel.
"Tentu
jauh dan amat jauh sekali. Kalau kami harus langsung mengirimkannya kesana
barangkali
akan mati kelelahan. Kami hanya mengirim seba sampai ke sebuah tempat selepas
Sumedanglarang
saja. Dari sana ada yang melanjutkan lagi, sesudah semua desa yang masih
setia kepada
Pakuan sama-sama mengumpulkan seba," kata Ki Banen. Menurut kedua orang
ini, jauh
sebelum Kerajaan Talaga berpihak ke Cirebon, seba tahunan untuk Pakuan
dihimpun di
Talaga. Artinya, yang mengirim seba ke Pakuan dibebankan kepada kerajaan
kecil yang ada
di bawah Pajajaran. Sekarang sesudah ada perpecahan, bisa saja kerajaan
menghentikan
seba ke Pakuan, akan tetapi satu dua desa di bawah kerajaan tersebut masih . setia
mengirimkannya secara pribadi, atau bergabung dengan daerah lain yang masih
samasama
punya rasa
setia," kata Ki Ogel lagi.
"Salah-satu
diantaranya, adalah desa kami inilah," kata Ki Banen menyela.
Sayup-sayup
dari kejauhan terdengar kentongan dipukul berirama. Kata Ki Ogel, mereka
adalah dua
tugur atau ronda yang tengah tugas berkeliling. Ginggi belum bertemu dengan dua
tugur ini,
sebab mereka baru hadir di saat Ginggi sudah tidur. Sewaktu pemuda ini
terhenyak
dibangunkan Ki
Kuwu Suntara, dua tugur itu tengah keliling kampung.
Sekarang suara
irama kentongan lebih jelas kedengaran, tanda kedua orang tugur datang
mendekat. Dan
ketika irama tabuhan itu kian keras, remang-remang di arah sana nampak dua
orang
mendekat. Tiba di pekarangan gardu wajah-wajah mereka nampak jelas kelihatan.
Itu
sesudah
keduanya membuka kain sarung yang sejak tadi dikerudungkan ke wajah dan kepala
mereka untuk
menahan serangan angin malam.
Cahaya bulan
yang sudah mulai bergeser ke barat disertai goyangan cahaya api obor di tangan
seorang tugur
menyebabkan Ginggi bisa mengenali wajah keduanya satu persatu.
Dua-duanya
ternyata masih amat muda. Mungkin usianya hanya berbeda satu atau dua tahun
di atas usia
Ginggi. Yang membawa kentongan kulitnya agak kehitaman, giginya tonghor,
menjorok ke
depan. Ada kumis tipis berbulu jarang dan di dagunya berjuntai rambut jarang
menyerupai
jenggot. Si pembawa cahaya obor nampak sedikit lebih tampan, kendati ada
kesan angkuh
lantaran bibirnya selalu nampak mencibir bagaikan orang mencemooh. Ketika
melihat Ginggi
duduk mendekap lutut, si pembawa kentongan berkata, "Bagaimana, apa
sudah
diperiksa dengan baik anak pendatang itu, Ki Ogel ?" tanyanya. Mereka kini
hanya
berjarak satu
sikut saja dengan Ginggi yang masih memeluk lutut karena dinginnya malam.
"Aku yang
melapor kepada Ki Kuwu akan kehadiran orang asing ini," kata pemuda tampan
pembawa obor
tanpa memandang kepada Ginggi.
"Bagaimana
menurut perkiraan Ki Kuwu, orang jahatkah dia itu?" Si Tampan menunjuk
wajah Ginggi
dengan obor, sehingga Ginggi mendongakkan kepalanya ke belakang karena
ujung obor
beserta cahaya apinya hanya tinggal sejengkal ke wajahnya.
"Tidak
mencurigai anak ini sejauh itu sebab Ki Ogel mengabarkan sewajarnya berdasarkan
penglihatan
dan penilaiannya," kata Ki Banen.
"Apa yang
Ki Ogel katakan kepada Ki Kuwu. Ki ?" tanya Si Angkuh lagi.
"Aku
katakan bahwa anak muda ini kecuali lugu dan sedikit bodoh, tidak membahayakan
kita
semua. Dia
datang entah dari mana. Kemalaman di sini dan punya tujuan mengembara, atau
bekerja apa
saja kalau bisa," kata Ki Ogel. Melirik ke arah Ginggi yang masih
kalem-kalem
saja memeluk
lututnya.
"Tidak
jahat tapi bodoh, ya! Huh!" dengus Si Tampan angkuh.
"Ya. Tapi Ki Kuwu sudah
mengizinkan anak muda ini ikut kerja di sini," kata Ki Ogel.
"Pekerjaan
apa yang bisa diberikan kepada orang macam dia ?" giliran pemuda hitam
bergigi
tonghor yang
bicara.
"Tentu
bukan jenis pekerjaan yang memeras jalan pikiran," kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya
tertawa masam mendengar obrolan ini. Sebaliknya Ginggi acuh tak acuh saja.
Secuil pun dia
tak menyimak obrolan mereka. Mengapa harus menyimaknya, pikirnya. Tokh
mereka pun,
terutama kedua pemuda tugur itu, dalam memperbincangkan dirinya tidak sedikit
pun memandang
padanya, apalagi langsung mengajaknya bicara.
Ginggi
terpaksa mepet ke sudut ketika kedua pemuda itu akan ikut duduk di bale-bale.
Ginggi
memang mesti
mengalah pergi, sebab dia hanya ikut numpang saja dan jangan sampai
kehadirannya
mengganggu kenyamanan para petugas jaga saat beristirahat melepas lelah.
Keempat orang
tugur duduk bersila saling berhadapan di tengah bale-bale, saling bertutur
sapa dan
mengobrol. Kedengarannya mereka tengah memperbincangkan suatu persiapan.
"Jadi,
tiga hari sesudah pesta panen, kita baru beranjak pergi mengirim seba, Madi
?" tanya Ki
Ogel.
"Betul,
Ki. Sayang, pesta panen hanya dilakukan satu malam saja…" gumam pemuda
tonghor
yang ternyata
namanya Madi.
"Dulu,
dulu sekali, pesta panen dilakukan seminggu berturut-turut. Semua jenis
kesenian
ditampilkan
mulairengkong hinggadogdog lojor , mulai seni dalang hingga tembang-carita
Aki Pantun.
Bahkan sanggup mengundang rombonganrenggonggunung dari tatar Galuh. Para
anak gadis
yang molek-molek, bukan saja keluar dari rumah-rumah seputar kampung kita,
tapi juga
datang dari luar kampung. Mereka datang berombongan, bersama kakak laki-laki
mereka, atau
pun bersama kedua orangtuanya. Mereka menghadiri pasar malam dan saling
menukarkan barang
berdasarkan keperluannya masing -masing. Yang sudah memiliki uang
logam dari
Negri Campa, Cina, Keling, Parasi, atau dari Pasai dan Siem, mereka pergunakan
untuk ditukar
dengan barang keperluan lebih berharga lagi," tutur Ki Ogel mengenang masa
lampau yang
penuh kebesaran.
"Sekarang
bagaimana ?" tanya Si Tonghor.
"Sekarang,
tidak semarak seperti dulu. Pesta panen tahun lalu hanya dilakukan dua hari
saja.
Tahun ini
malah satu hari. Tak ada pasar malam, kecuali menggelar pantun, mencoba
mengenang masa
lalu. Tahun lalu banyak saudagar dari wilayah kandagalante menawarkan
kain tipis
buatan Campa. Tapi benda berharga seperti itu hanya bisa ditukar dengan uang
logam asing,
sebab tak mampu bila harus diseimbangkan dengan sepuluh kati kapas atau
sepuluh
dongdang padi. Penduduk sudah tak punya kekayaan lebih," kata Ki Ogel
lagi.
"Aneh,
padahal ladang tak berkurang dan huma pun selebar lautan. Mengapa penduduk tak
sanggup
memiliki kekayaan berlebih, Ki?" pemuda tampan yang nampak angkuh di mata
Ginggi mulai
membuka suara.
"Itulah karena berubahnya
zaman, anak muda…" kata Ki Banen yang mulai bersuara pula.
"Perubahan
apa yang menyebabkan orang tak punya kekayaan berlebih, Ki?" tanya lagi si
tampan angkuh.
"Kalau
aku yang berbicara nanti terpeleset lidah. Mendingan tak menjadi salah
pengertian
yang
mendengar. Bila tidak , hanya akan membahayakan diri sendiri. Sebaiknya kau
pelajari
sendiri Seta,
simak sendiri dan saksikan sendiri. Apa yang kau nilai sendiri, itulah
kebenaran,
paling tidak
bagi keyakinanmu secara pribadi , Seta," kata Ki Banen.
Ginggi baru
tahu kalau Si Tampan angkuh ini Seta namanya.
***
Suasana terasa
hening ketika kokok ayam mulai berbunyi. Hampir semua orang secara
bersahutan
menguap panjang. Ki Ogel merebahkan dirinya di bale-bale berbantalkan kedua
belah
tangannya, begitu pula Ki Banen, kendati hanya tidur ayam dengan jidat menempel
di
atas lutut.
Madi masih membunyikan kentongan tapi makin lama makin pelan dan lambat,
sampai
akhirnya berhenti sama sekali. Ginggi bahkan sejak dari tadi tidur meringkuk di
sudut.
Pertikaian di
Pancuran
Pagi-pagi
sekali Ginggi sudah dibangunkan oleh Ki Ogel. Orang tua ini mengatakan padanya
agar bila
ingin mandi bisa pergi menuju pancuran.
"Pancuran
umum terletak di luarlawang kori (pintu gerbang desa). Tapi bertepatan dengan
cahaya merah
jingga di ufuk timur, pintu lawang kori sudah dibuka petugas," kata Ki
Ogel.
Antara sadar
dan tidak karena kantuk masih juga menyerangnya, Ginggi mencoba mengucakngucak
kedua belah
matanya. Dia pun segera menggoyang-goyangkan kepalanya mencoba
mengusir rasa
kantuknya itu. Ginggi memang harus bangun pagi untuk membuat langkah
perjalanan
selanjutnya. Mana yang lebih penting, melanjutkan perjalanan atau mencoba
mencari
pekerjaan di desa ini. Nampaknya memang ada tawaran kerja di sini. Tapi tawaran
kerja apa, dia
tak tahu.
"Biar
nanti kuputuskan seusai mandi saja," gumamnya sendirian.
Di gardu
tinggal dia sendirian sebab Ki Ogel entah sudah pergi kemana, begitu pun Ki
Banen.
Perkara kedua
pemuda bernama Madi dan Seta yang tak dia senangi, Ginggi tak perlu
mengingatnya.
Tak kutemui lagi pun tak mengapa, pikirnya.
Ginggi
menjinjing buntalan kainnya menuju lawang kori untuk keluar kampung, sebab
menurut Ki
Ogel, pancuran tempat mandi ada di luar benteng kampung.
Pintu lawang
kori sudah terbuka lebar namun tak ada penjaga disana. Sebagai tanda, pada
siang hari
penduduk tak merisaukan akan adanya gangguan yang tak diharapkan.
Ginggi
melangkah ke luar kampung. Beberapa ratus langkah mengikuti jalan utama, dia
sudah
menemukan
jalan setapakke kiri, menurun dan membelok. Ginggi mengikuti arah ini, sebab
sayup-sayup dia mendengar suara
air pancuran.
Benar saja, di
sana ada pancuran. Airnya bening keluar dari sebuah mata air di bukit terjal.
Mengucur turun
melalui sela-sela batu cadas dan kemudian ditampung saluran bambu. Air
pancuran itu
jatuh terus-menerus membentuk sungai kecil berbatu. Banyak hamparan batu
kecil rata
mengkilap, mungkin selalu digunakan orang mencuci kain.
Karena di situ
masih sunyi, maka dengan leluasa Ginggi menanggalkan seluruh pakaiannya.
Baju kampret
warna nilanya dibuka, begitu pun celana sontognya. Dan brus, begitu saja dia
membiarkan
seluruh badannya diguyur air pancuran yang dingin menusuk tulang sumsum.
Sampai pada
suatu saat terdengar jeritan tertahan dari arah jalan setapak. Ginggi menoleh
dan
amat terkejut,
sebab jeritan itu keluar dari mulut seorang gadis. Gadis itu menutup mulutnya,
membalikkan
badan dan berlindung di balik rimbunan pohon.
"Nanti
dulu, aku masih telanjang bulat!" seru Ginggi mempercepat mandinya.
"Saya
sembunyi di sini, tidak lihat engkau!" terdengar jawaban dari balik pohon.
"Tapi kau
salah.
Seharusnya tidak mandi di pancuran ini. Ini tempat mandi dan cuci kaum
wanita!" seru
suara di balik
rimbunan pohon itu.
"Kau
gadis yang tadi malam menyodorkan penganan di rumah Rama Dongdo, bukan?"
"Betul!
Beliau kakekku!" jawab dari balik rimbun pohon lagi.
"Mengapa
tak mengobrol denganku?"
"Ih, tak
sopan benar, seorang gadis mengajak berbincang kepada orang yang baru
dikenalnya!"
"Sekarang
kan bisa?"
"Ih,
cepatlah, ketahuan orang lain, kau nanti dimarahi!" kata suara di balik
rimbunan pohon
itu.
"Laki-laki tak boleh sembarangan dekat-dekat pancuran ini!" katanya
pula masih
sembunyi.
"Ini, aku
sudah jauh dari pancuran!" kata Ginggi yang sudah berdiri di dekat gadis
itu. Gadis
berkain dan
berkebaya hitam dengan rambut terurai sebatas pinggul ini terkejut manakala
membalikkan
badan sudah melihat seorang pemuda berikat kepala dan berpakaian kampret
dengan rapih.
"Kapan
kau selesai mandi? Tak kudengar gerakanmu," katanya menatap wajah pemuda
itu
selintas,
namun bisa meneliti hidung pemuda itu yang sedikit mancung, bola mata bundar
dan
dagu sedikit
terbelah dua ini. Sebaliknya Ginggi pun terpesona melihat lesung pipit di pipi
kiri
gadis itu.
Hidungnya kecil mancung serta bibir tipis sedikit merah, dengan sudut-sudut
mata
yang tajam
dengan mata yang hitam legam. Ginggi pun terpesona melihat ke celah di bagian
dada, ada
kulit kulit kuning langsat agak montok menonjol dan menantang selera kaum
lelaki.
Gadis itu
rupanya tahu apa yang diperhatikan pemuda itu, dan serta merta melindungi
bagian
yang jadi incaran mata
penatapnya.
Kini giliran
Ginggi yang tersipu-sipu. Pipi dan telinganya terasa panas manakala dia menduga
bahwa apa yang
dia lakukan dengan matanya diketahui dan dirasakan gadis itu.
Plakk! Pemuda
itu menempeleng pipinya sendiri dan membuat bengong gadis itu.
"Apa yang
kau lakukan, Kang?" tanya gadis itu heran.
"Ada …
ada nyamuk di pipiku!" kata pemuda itu gagap. Sang gadis yang kini
diketahui
menjinjing
cucian di sebuah ember kayu terkekeh lucu mendengarnya.
"Kok,
urusan nyamuk saja ditertawakan?" kata Ginggi heran.
"Lucu,
baru kali ini di kampungku banyak nyamuk pada pagi hari …" kata gadis itu
terkekeh
lagi.
Tangannya yang putih lentik itu digunakannya menutup renyah tawanya.
Ginggi
tersenyum. "Memang tak ada nyamuk, sih…" katanya menggaruk belakang
kepala.
"Mari,
aku bawakan jinjinganmu, nampaknya berat," kata pemuda itu menawarkan
jasa.
"Sudah
biasa aku bawa jinjingan macam begini saban pagi," kata gadis itu sebagai
tanda
menolak
tawaran pemuda itu.
"Ini
karena sekalian saja. Aku juga mau mencuci pakaian kotor !" kata Ginggi
sedikit
memaksa.
"Ih,
sudah aku katakan, lelaki tidak di sini! Ayo, sini saja cucianmu, aku yang
bersihkan!"
kata gadis
itu, langsung mengambil pakaian kotor yang tengah digapit Ginggi.
Pemuda itu
mandah saja pakaian kotornya diambil gadis itu. Bahkan di hatinya ada perasaan
senang gadis
itu mau melakukan untuknya.
"Aku
tunggu di sana, ya?" kata Ginggi.
"Ah,
sudahlah. Di rumah ada ubi rebus, sengaja aku buatkan. Lagi pula, kakek ingin
bertemu
kau,"
kata gadis dengan rambut halus menghiasi jidatnya ini sambil berlalu menuruni
anak
tangga batu.
Ginggi menyimak langkah kaki gadis itu, sampai hilang di kelokan.
Ginggi
menghela nafas, entah karena apa. Tapi dia lupa akan ucapan gadis itu bahwa dia
ditunggu Rama
Dongdo. Dia malah memilih batu sebagai tempat duduk di pinggir jalan itu.
Duduk
termenung namun dengan hati ringan dan senang. Apalagi ketika didengarnya sang
gadis
mempermainkan air pancuran karena sedang membersihkan badan. Pemuda itu
membayangkan,
betapa Si Gadis tengah menyibakkan dan menguraikan rambutnya yang
hitam legam
agar diguyur airdingin dan jernih itu. Dia pun membayangkan, betapa kulit
wajah yang
putih halus itu ikut diguyur, juga pundaknya yang sedikit berbulu tipis-tipis,
juga
betisnya, juga
dadanya yang montok. Dan, ah, semuanya diguyur air pancuran itu. Beruntung
benar sang
pancuran, dia bisa bebas dan semena-mena menyaksikan tubuh mulus tanpa
busana itu.
Berbahagia sekali sang air gunung, dia dengan bebas dan semena-mena
mengeluselus
semua lekuk
dan bagian tubuh mungil itu. Sialan benar! Pasti tak ada yang terlewat,
semua lekuk dan relung
dirambahnya oleh air keparat itu!
Tuk! Ginggi
mengetuk ubun-ubunnya sendiri. Benar kata Ki Darma tempo hari, kalau tak ada
kendali, lari
kuda bisa kemana saja. Tidak pula untuk jalan pikiran manusia.
Dan ingat ini,
Ginggi segera berdiri. Dia akan mengunjungi Rama Dongdo seperti apa yang
dipesankan
gadis itu. Dia melongok sebentar ke arah jalan setapak yang menurun dan
berkelok itu
sebelum meninggalkannya.
Namun baru
saja akan membalikkan badan untuk berlalu, "tuk!", kepala bagian
belakangnya
terasa ada
yang memukul.
Ginggi menoleh
ke belakang. Bukan karena sakit tapi karena terkejutnya. Rasanya, sudah dari
tadi dia
menggetok kepalanya sendiri, mengapa sekarang terasa ada getokan lagi.
"Kau
mencuri lihat orang mandi, ya?" kata seseorang mengamangkan alat pikul.
Ternyata
yang datang
adalah Madi, pemuda jangkung hitam bergigi tonghor itu. Dia pasti telah
menggetok
kepala Ginggi dengan ujung pikulan.
"Siapa
bilang aku mengintip orang mandi?" kata Ginggi menolak tuduhan.
"Pasti
mengintip. Kalau tak begitu, masa engkau diam di sini. Di bawah kan pancuran
tempat
orang
mandi?" kata si tonghor dengan pikulan siap dipukulkan lagi.
"Aku tak
mengintip orang mandi. Aku bahkan baru saja mandi," kata Ginggi lagi.
Mendengar
perkataan ini,
sitonghor membelalakkan mata. Melihat ke jalan setapak arah pancuran, lantas
berpaling
kembali ke wajah Ginggi.
"Kau
maksudkan mandi di pancuran ini?"
Ginggi
menganggukkan kepala.
"Sialan
kau! Tidak tahukah bahwa ini pancuran untuk kaum wanita?" bentak si
tonghor
berteriak.
Mulutnya terbuka lebar dan gigi tonghornya kian kentara. Kuning, kehitaman dan
jarang-jarang.
"Ah, biar
saja!" kata Ginggi mencoba berpura-pura tak acuh akan kemarahan si
tonghor.
Merasa
diabaikan, pemuda kurus jangkung dan hitam ini segera mengayunkan pikulan yang
kini digunakan
sebagai pentungan.
Sudah barang
tentu, Ginggi tak rela ubun-ubunnya begitu saja menerima pentungan, apalagi
ini dilakukan
dengan pengerahan tenaga. Tetapi pemuda ini pun tak mau membuat orang
mencurigai
bahwa dia memiliki ilmu berkelahi. Ginggi menutup wajah rapat-rapat dengan
kedua belah
telapak tangannya dan berteriak minta tolong. Namun sambil meringis dia
menunduk dan
mundur setindak. Hanya terdengar ujung pikulan bersiut lewat beberapa
sentimeter
saja tapi ubun-ubun pemuda itu lolos dari serangan.
Ginggi lari
kesana-kemari sambil teriak minta tolong, dikejar pemuda tonghor dengan
beringas.
Sementara
semakin matahari bersinar, semakin banyak orang menuju pancuran, laki-laki dan
perempuan.
Mereka heran sepagi ini ada orang teriak-teriak ketakutan. Beberapa orang
berlarian
mendatangi tempat kejadian dan mendapatkan dua anak muda saling berkejaran.
Yang satu
minta tolong satunya lagi melayangkan pikulan ke kiri dan ke kanan.
Seorang pemuda
yang jauh lebih awal tiba di sana men coba menghentikan aksi kejarmengejar.
"Madi,
mengapa engkau hendak menganiaya pemuda itu?" tanyanya, sambil menahan
gerak
Madi.
"Dia
brengsek! Dia kurang ajar, Seta!"
"Brengsek
dan kurang ajar karena apa, Madi?" tanya Seta sambil mendelik kepada
Ginggi.
"Dia
mandi di pancuran wanita. Ketika aku peringatkan, malah bilang biar saja.
Begitu kan
kau bilang
tadi?"
"Apa tadi
perkataanku kau dengar lain?" Ginggi ringan saja menjawabnya.
"Tuh,
kurang ajar, kan? "
"Kurang
ajar bagaimana," Ginggi memotong. "Kubilang biar saja karena tadi
hari masih pagi
dan tak ada
wanita mandi di sana," katanya. Tapi berbareng dengan itu, dari jalan
setapak arah
pancuran,
muncul gadis rambut tergerai sebatas pinggul sambil menjinjing ember kayu
dengan
setumpuk cucian.
Gadis
berlesung pipit ini hanya mengenakan kain hitam sebatas dadanya dan membuat
seluruh
lekuk-relung tubuhnya tercetak erat dan ketat, membikin ketiga pemuda itu
terpana
dan melongo.
Si gadis yang melangkah cepat karena mendengar ribut-ribut, segera menutupi
bagian dadanya
dengan tangan kiri setelah tahu bahwa ketiga pemuda itu matanya seragam
menyorot ke
arah bagian badan yang barusan dia tutupi.
Semuanya
tersipu-sipu malu karena kelakuannya ini. Tapi rasa malu Seta berubah menjadi
kemarahan. Dia
cepat menghambur ke arah Ginggi, dan plak-plak-plak! Tiga tamparan
mendarat di
pipi Ginggi.
Gadis itu
menjerit kecil karena peristiwa ini.
"Hai,
mengapa kau tampar wajahku?" Ginggi lebih merasa heran ketimbang sakit
melihat
Seta
menamparnya beberapa kali.
"Kau
kurang ajar menatap wanita lewat!" bentak Seta.
"Kalau
begitu, tamparlah juga wajahmu tiga kali, malah empat kali buat temanmu itu,
sebab
dia menatap
gadis itu sambil menelan air liurnya!" kata Ginggi senyum. Tapi omongan
ini
kian menyulut
kemarahan Seta. Dibantu Madi ia kembali menghambur menerjang Ginggi.
Para wanita
yang menyaksikan pertengkaran ini menjerit-jerit ngeri karena baik Madi atau
pun Seta
dengan garangnya mengayunkan pikulan untuk mencecar kepala Ginggi. Yang
diserang malah hanya berteriak-teriak minta tolong sambil meringis dan menutupi
wajahnya.
Ketika ayunan
alat pemikul yang dipegang Seta hendak menyabet tengkuk, kaki Ginggi
tersandung
akar dan jatuh terjerembab. Namun akibatnya, sabetan ke arah tengkuk menjadi
lolos. Ketika
pikulan Madi hendak mencecar pinggulnya, Ginggi bangun dengan cara
berguling dulu
ke kiri. Santai saja dia melakukannya, namun gerakan menggulir badan
dilakukan
dengan pas, sehingga serangan alat pikul hanya menggebuk permukaan tanah.
Sambil
menepuk-nepuk celana kampretnya karena kena debu, Ginggi berdiri dan secuil pun
tidak melirik
ke arah penyerangnya yang mulai mengepung dirinya. Kedua orang itu
mengelilinginya
sambil memutar-mutar alat pikul. Madi ada di belakang dan Seta ada di
depannya.
Sambil memutar alat pikul, kedua orang itu melakukan langkah-langkah mantap
dan itu
merupakan kuda-kuda semacam ilmu berkelahi.
Ginggi sendiri
tetap menampilkan diri sebagai seorang yang tak mengenal ilmu kedigjayaan,
seperti apa
yang dipesankan Ki Darma. Di samping ingat pesan orang tua itu, Ginggi pun
merasa tak
punya kepentingan untuk mengeluarkan jurusnya, sebab menurutnya, ini hanya
urusan sepele
saja.
Menghadapi
pasangan kuda-kuda kedua orang yang mengepungnya, Ginggi hanya meringis
saja.
Keduatangannya di depan dada seperti orang ketakutan dan minta diampuni.
Beberapa orang
yang sedianya hendak ke pancuran atau hendak berangkat ke ladang,
menyuruh
mereka supaya berhenti saja. Gadis semampai berlesung pipit pun
berteriak-teriak
menyuruh untuk
menyelesaikan urusan ini.
Namun Seta dan
Madi sepertinya masih memiliki rasa penasaran bila belum menggebuk
pemuda bodoh
tapi ugal-ugalan ini. Secara serentak keduanya melakukan serangan. Madi
mengemplangnya
dari belakang Seta menyodoknya dari depan. Ginggi menjerit ngeri, begitu
pun yang lain,
semuanya akan membayangkan bahwa sebentar lagi ubun-ubun kepala Ginggi
akan kena
kemplang alat pikul yang keras itu dan ulu hatinya pasti tersodok ujung pikulan
di
tangan Seta.
Untuk kesekian
kalinya, Ginggi berteriak minta tolong sambil punggungnya membungkuk ke
depan. Karena
gerakan membungkuk ini, kemplangan dari belakang hanya menggebuk angin.
Sedangkan
serangan Seta hanya akan lolos sementara ketika tubuh Ginggi melenting ke
belakang. Bila
Ginggi tak menjatuhkan tubuhnya ke samping, akhirnya sodokan akan kena
juga. Sambil
telapak kaki menginjak tonjolan batu, Ginggi pura-pura terpeleset dan jatuh ke
samping. Di lain
fihak, Seta terlanjur mengeluarkan tenaga sodokan sepenuhnya, sehingga
manakala
sodokan itu gagal, tubuh Seta terjerembab ke depan.
Akan halnya
pemuda Madi yang merasa kemplangan pertama gagal, secara cepat
mengayunkan
alat pikulnya untuk menyabet badan Ginggi bagian samping. Namun tubuh
Ginggi sudah
jatuh duluan ke arah berlawanan karena terpeleset batu. Padahal ketika serangan
itu datang,
amat bersamaan dengan munculnya tubuh Seta yang terjerembab ke depan.
Akibatnya tak
ayal, jidat Seta terkena sabetanujung pikulan. Tidak telak benar, namun cukup
membuat jidat
pemuda itu benjol dan warna hijau menghiasi benjolan itu.
Orang-orang
tertawa melihatnya. Betapa tidak, serangan dua orang pengepung, dikacaukan
begitu saja
hanya karena yang diserang terpeleset kakinya. Lebih lucu dari itu, terjadi
kesalahan penyerangan sehingga
yang satu menyerang kawan satunya lagi.
Madi terkejut
menyaksikan hasil kerjanya lain dari harapan. Sebaliknya Seta menjadi kesal
dibuatnya.
Sambil menahan rasa sakit di jidat, Seta menghambur ke arah Madi.
"Hai,
Seta mengapa malah menyerangku!" teriak Madi menangkis serangan Seta.
"Mengapa
kau menggebukku?" Seta kembali melayangkan kemplangan. Dan, pletaaak!!!
Ujung pikulan
mendarat di dahi Madi. Yang dipukul balik menyerang, sehingga keduanya
akhirnya
saling kemplang disertai sumpah serapah. Kini suara jerit penonton disertai
teriakan
kesakitan
sebab yang bergumul, satu sama lain berhasil mengemplang lawannya.
"Hai!
Hai! Jangan berkelahi! Berhenti! Berhenti!" Ginggi sibuk melerai kedua orang
yang
baku hantam
ini. Akhirnya semua orang ikut terjun melerai perkelahian ini. Dan suasana
kacau di pagi
hari, di saat burung berkicau di hutan sana, berhenti manakala terdengar suara
keras memekik
dan menyakitkan telinga.
"Berhenti!
Apa-apaan sepagi ini kalian sudah saling kemplang, hah?" kata orang itu.
Semua mundur
teratur sebab yang datang adalah Ki Kuwu Suntara.
"Mengapa
kalian berkelahi?" tanyanya lagi.
"Karena
anak dungu itu, Ki Kuwu!" kata Seta menunjuk ke arah Ginggi.
"Karena
apa?"
"Dia
mengintip orang mandi, Ki Kuwu!"
"Lantas,
mengapa malah kalian yang berkelahi?"
Keduanya tak
bisa menjawab. Saling pandang dan akhirnya menunduk.
Giliran Ginggi
yang diperiksa Ki Kuwu.
"Kau
mengintip orang mandi, anak dungu?"
"Aku
hanya kena tuding saja, Ki Kuwu!" jawab Ginggi.
"Dia juga
mengaku mandi di pancuran khusus wanita, Ki Kuwu," kata Madi sambil
memegangi
pipinya yang tergores serangan Seta dan sedikit mengeluarkan darah.
"Kau
mandi di tempat wanita?" tanya Ki Kuwu Suntara.
"Betul,
tapi di saat pancuran sunyi. Aku mandi paling pagi, Ki Kuwu," jawab Ginggi
pula.
"Bohong
Ki Kuwu, sebab di pancuran ada Nyai Santimi. Begundal ini pasti habis menggoda
gadis itu, Ki
Kuwu!" kata Seta dengan wajah merah dan bibir bengkak kena sabetan Madi.
Wajah pemuda
tampan ini jadi kian tak keruan bila ditambah hiasan jendol sebesar telur ayam
di jidatnya. "Nyai,
kau mandi bersama pemuda tolol itu?" Ki Kuwu mendeleng ke bagian dada
gadis yang
segera Nyi
Santimi halangi dengan tangan kanannya.
"Ih,
siapa bilang! Dia mandi duluan sebelum saya datang ke pancuran. Saya juga
katakan
padanya bahwa
lelaki tak diperbolehkan mandi di pancuran ini," tutur Nyi Santimi marah.
"Dia
memaksa?"
"Dia
sedang mandi ketika saya katakan perihal aturan itu!" kata Nyi Santimi.
"Apa kau
mendekati pemuda itu padahal dia sedang mandi, Nyai?" tanya Ki Kuwu
Suntara
dengan suara
setengah menyelidik.
Tampak wajah
Nyi Santimi merah merona. "Saya hanya bicara dari balik rimbunan pohon, Ki
Kuwu!"
katanya menundukkan wajah.
"Bagus
!" kata Ki Kuwu bergembira.
"Anak itu
belum tahu tata-aturan di sini, harap maafkan saja Ki Kuwu," kata
seseorang
dengan lemah
lembut.
Ternyata yang
datang adalah Rama Dongdo. Barangkali dia memaksa datang karena
keributan ini.
Ki Kuwu
Suntara memandang Rama Dongdo dengan wajah dingin, tapi kemudian dia
mengangguk.
"Ya, kali
ini aku maafkan dia!" katanya sambil berlalu. "Ayo, bubar semua.
Bubar. Urusan
selesai!"
katanya kepada penduduk yang bergerombol. Semuanya taat dan kembali
mengerjakan
tugas masing-masing. Yang akan pergi mencuci pergi ke pancuran dan yang
akan berangkat
ke ladang kembali memanggul cangkul. Madi dan Seta yang sedianya
mengambil air
minum di mata air pun kembali memikul gentongnya yang masih kosong.
Namun belum
beranjak dari tempat itu sebab nampak Ginggi mendekati Nyi Santimi.
"Nyai,
baru tahu sekarang namamu Santimi. Indah benar, pas sekali dengan semampai
tubuh
dan mungil
wajahmu," kata Ginggi. "Oh, ya, maafkan keributan ini. Tapi sungguh
aku tak
mengintipmu,"
katanya lagi.
Madi dan Seta
mendengus. Nyi Santimi juga rupanya agak terpengaruh oleh sangkaan kedua
pemuda ini.
Buktinya wajahnya agak cemberut.
"Nih
pakaianmu, sudah aku cucikan, sudah bersih!" katanya menyerahkan cucian
kepada
Ginggi.
"Ah,
jasamu tidak akan kulupakan, Nyai. Perlu aku balas. Ayo, biar semua cucian itu,
aku
yang bawa.
Kalau kau mau menyuruhku mengambil air bersih, akan aku lakukan pula!"
kata
Ginggi.
"Mari Nyai, biar aku saja
yang membawakan cucian itu!" kata Madi menawarkan jasa.
"Ya,
cepat, kau yang bawa Madi!" kata Seta setengah memerintah.
"Biarlah,
saya tiap pagi juga membawanya sendiri," Nyi Santimi menolak. Entah kepada
siapa, mungkin
semuanya.
Madi dan Seta
termangu. Tapi Ginggi segera menyabet ember dan tempat air dari bambu. Dia
segera
membawanya pergi.
"Hai,
biarkan saya yang bawa! Biarkan!" seru Nyi Santimi sambil berlari kecil
memburu
pemuda itu.
Namun sesudah keduanya berdekatan, mereka malah berjalan sama-sama.
"Nyi
Santimi, kau tidak punya malu mencucikan pakaian orang asing yang dungu
itu!" teriak
Madi kesal.
Seta hanya menggigit bibirnya sambil meringis menahan sakit. Dia lupa bahwa
bibirnya pun
bengkak kena sodokan temannya.
Ginggi dan Nyi
Santimi melangkah cepat menyusul Rama Dongdo yang nampak sudah
memasuki
lawang kori.
"Kau
harus percaya Nyai, aku tak mengintipmu mandi," kata Ginggi di tengah
jalan.
"Tapi
mengapa kau masih di dekat-dekat situ?" tanya Nyi Santimi masih kurang
percaya.
"Ya,
gimana, ya? Ah, pokoknya aku tak mengintipmu. Percayalah, aku jujur
bicara!" Ginggi
minta
dipercaya.
"Sejujur
matamu itukah?" Nyi Santimi menyindir tapi Ginggi tak mengerti.
"Lelaki
dimana-mana sama saja!"
"Sama
apanya, Nyai?"
"Matanya
itu!" Nyi Santimi menunjuk pada mata Ginggi. Pemuda itu pun serentak
meraba
kedua bola
matanya.
"Ah, aku
kira mataku hanya bulat saja. Tapi Si Tonghor itu matanya melotot besar. Dan Si
Seta biar pun
tampan tapimatanya cekung. Mengapa kau katakan sama, Nyai?’ Ginggi heran
dibuatnya.
"Bukan
ukurannya, tapi jelalatannya, tolol!" kata Nyi Santimi membentak sambil
tertawa.
Untuk kesekian
kalinya orang menyebut tolol padanya. Tapi yang ini rasanya lain. Ginggi
merasa senang.
"Macam-macam
orang menggunakan matanya itu, Nyai ada yang karena nafsu ada juga
karena kagum.
Bila melihat sesuatu yang indah, mata akan senang dan kagum melihatnya.
Yang salah
mungkin tubuhmu, mengapa begitu indah," kata Ginggi terus terang, membuat
rona merah di
wajah gadis itu timbul kembali.
"Tapi aku
heran Nyai, kekagumanku akan sesuatu yang indah jadi membuat kemarahan
orang.
Buktinya kedua pemuda itu marah besar padaku hanya karena ... ya, mataku yang
jelalatan itulah. Padahal, mereka pun sebetulnya sama saja! Engkau tak adil
hanya aku saja
yang engkau
marahi?"
"Aku
malah sering memarahi kedua orang yang menyebalkan itu. Mereka sering
menggodaku
dan mereka
sering cemburu buta. Mereka benci padamu sejak kehadiranmu pertama kali
malam
tadi!" kata Nyi Santimi.
"Lho,
masa begitu aku datang ke sini sudah membuat kesalahan pada mereka?" tanya
Ginggi
menahan langkah sedikit.(bersambung)
Nanti ya lanjutan nya....